Sunday, August 24, 2014

UPACARA PUPUTAN



Tali pusat atau umbilical cord adalah saluran kehidupan bagi janin selama dalam kandungan. Dikatakan saluran kehidupan karena saluran inilah yang selama 9 bulan 10 hari menyuplai zat-zat gizi dan oksigen ke janin. Tetapi begitu bayi lahir, saluran ini sudah tak diperlukan lagi sehingga harus dipotong dan diikat atau dijepit.
Sisa tali pusat yang masih menempel di perut bayi (umbilical stump), akan mengering dan biasanya akan terlepas sendiri dalam waktu 1-3 minggu, meskipun ada juga yang baru lepas setelah 4 minggu. Umumnya orangtua baru (seperti papa mama) agak takut-takut menangani bayi baru lahirnya, karena keberadaan si umbilical stump ini. Meski penampakannya sedikit ’mengkhawatirkan’, tetapi kenyataannya bayi tidak merasa sakit atau terganggu karenanya.
Membersihkan Tali Pusat Bayi
                          
Berikut ini langkah-langkah membersihkan tali pusat bayi dari :
1.      Mandikan bayi seperti biasa.
2.      Gosok tali pusat dengan sabun secara perlahan
3.      Angkat dan letakkan bayi di meja ganti (baby tafel)
4.      Keringkan tubuh bayi dengan handuk
5.      Angkat (bukan menarik) sedikit tali pusat, kemudian bersihkan sisa air pada pangkal tali pusat dengan kasa steril atau kapas.
6.      Bersihkan dengan alkohol menggunakan kapas (optional).
7.      Kemudian kipas-kipas dengan tangan atau tiup supaya cepat kering.
8.      Bila tetap ingin menutupi tali pusat tersebut, gunakan kain kasa steril.
9.      Lilitkan kain kasa pada bagian atas tali pusat, jangan sampai ke bagian pangkalnya.
10.  Pastikan bagian pangkal tersebut dapat terkena udara dengan leluasa.
11.  Setelah si kecil diberi minyak telon dan bedak, kenakan popok kain dan baju atasan.
12.  Tali pusat harus dibersihkan sedikitnya dua kali dalam sehari.
Biarkan tali pusat lepas dengan sendirinya. Jangan memegang-megang atau
bahkan menariknya meskipun Anda gemas melihat bagian tali pusat yang
’menggantung’ di perut bayi hanya tinggal selembar benang.
Orangtua dapat menghubungi dokter bila tali pusat belum juga puput setelah 4 minggu, atau bila terlihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti; pangkal tali pusat dan daerah sekitarnya berwarna merah, keluar cairan yang berbau, ada darah yang keluar terus- menerus, dan/atau bayi demam tanpa sebab yang jelas. Setelah tali pusat, terkadang pusar bayi terlihat menonjol (bodong).
Dalam budaya kita ada anjuran untuk menempelkan uang logam (binggel) di atas pusar bayi setelah tali pusatnya puput. Tujuannya agar pusar anak tidak menonjol (bodong). Padahal tanpa diberi pemberat pun (uang logam), lama-lama tonjolan tersebut akan menghilang.
Eh ternyata di budaya jawa, ada juga hal-hal tertentu, upacara-upacara yang harus dilakukan orang tua bayi. Namanya Upacara Puputan atau Dhautan
Upacara Puputan atau Dhautan

Dhautan atau puputan berasal dari kata dhaut atau puput yang berarti lepas. Barangkali istilah ini bagi sebagian orang, terutama yang berasal dari luar tradisi Jawa terasa asing, namun bagi kalangan  masyarakat di Jawa, istilah ini merupakan istilah biasa, yakni selamatan untuk menandai bahwa anak yang bau dilahirkan telah putus pusarnya. Bagi orang tua yang cukup mampu, biasanya acara puputan tersebut dibarengkan dengan aqiqahan atau menyembelih hewan seperti hewan kurban yang diperuntukkan bagi bayi tersebut dan kemudian dagingnya dibagikan kepada para tetangga dan kerabat.

Salah satu sarana yang penting dalam upacara ini adalah mainan anak-anak yang diperuntukkan bagi kerabat bayi (kakang kawah adhi ari-ari, sedulur papat lima pancer). Maksudnya kakang kawah karena kawah atau air ketuban pecah mendahului bayi, sehingga kawah dianggap sebagai saudara tua bayi, sedangkan ari-ari keluar sesudah bayi lahir, sehingga disebut adhi ari-ari. Sedulur papat lima pancer dimaksudkan bahwa saat bayi lahir di dunia, tidak hanya sendirian tetapi dengan empat saudara, yaitu kawah, ari-ari, darah, dan pusar, lima pancer maksudnya bayi itu sendiri sebagai pancer atau pusatnya. Konsep sedulur papat lima pancer ini dipakai sebagai salah satu konsep dasar kehidupan oleh masyarakat Jawa. Konsep ini sudah mendarah daging dalam jiwa setiap masyarakat Jawa. Hal ini terbukti dalam termuatnya konsep ini dalam primbon-primbon yang sampai sekarang ini masih kerap menjadi pedoman masyarakat Jawa dalam pengambilan keputusan seperti pindah rumah, menikahkan anaknya, memilih jodoh, dan lain-lain.

Salah satu primbon yang memuat mengenai konsep kakang kawah adhi ari-ari adalah Primbon Jawi. Disebutkan dalam Sura (2005: 27) bahwa saudara-saudara bayi tidak hanya 4, melainkan 8, yaitu (1) Celeng Demalung dari kawah, (2) Asu Ajag dari ari-ari, (3) Kalasrenggi dari darah, (4) Kutilapas dari bungkus, (5) Kalarandhing dari lendir, (6) Kalawekas dari kunir yang dijadikan sebagai alas, (7) Taliwangke dari usus ari-ari, dan (8) Tikus Jinanda dari bagian ari-ari yang terlepas.




Upacara ini biasanya diadakan kenduri selamatan sebagai ungkapan rasa syukur dipimpin oleh kaum (yang dituakan) dengan dihadiri oleh para kerabat dan bapak-bapak tetangga terdekat. Sesajian yang perlu dipersiapkan pada upacara puputan ialah sega gudangan, nasi dengan lauk pauk sayur mayur dan parutan kelapa, jenang abang, jenang putih, dan jajan pasar. Perlengkapan upacara ini meliputi:
- Golongan bangsawan: nasi gudangan, jenang abang putih, lima macam bubur dan jajan pasar.
- Golongan rakyat biasa: nasi jangan, jenang abang putih, jenang baro-baro dan jajan pasar.
Waktu penyelenggaraan upacara puputan tidak dapat ditentukan secara pasti karena putusnya tali pusar masing-masing bayi tidak sama. Adakalanya tali pusar lepas setelah bayi berumur satu minggu, adakalanya kurang dari satu minggu. Upacara ini diadakan setelah maghrib dan dihadiri oleh bayi, ibu, dukun, pinisepuh, dan sanak saudara.
Upacara puputan ini ditandai antara lain dengan dipasangnya sawuran, yaitu bawang merah, dlingo, bengle yang dimasukkan ke dalam ketupat, dan aneka macam duri kemarung di sudut-sudut kamar bayi. Selain itu dipasang juga daun nanas dipoles warna hitam putih, dedaunan apa-apa, awar-awar, dan girang, dan duri kemarung. Di halaman rumah ditegakkan tumbak sewu. Di tempat tidur bayi diletakkan benda-benda tajam seperti pisau, gunting.

Bayi perempuan setelah tali pusarnya lepas, pusarnya ditutupi dengan biji
ketumbar sedangkan laki-laki ditutupi dengan biji merica dengan dilekati obat
tradisional Jawa berupa ramuan benangsari bunga nagasari, dan lain-lain yang
ditumbuk sampai halus. Tali pusar yang barusaja putus dibungkus dengan kain
banguntulak untul bantal si bayi sampai bayi berumur selapan (35 hari).
            Biasanya dalam puputan tersebut juga ditandai dengan memberikan nama bagi sang jabang bayi.  Pemberian nama tersebut memang menurut Nabi dianjurkan untuk dilakukan dalam suatu pesta atau walimah, namun hal tersebut bukan merupakan kewajiban, dan hanya dianjurkan bagi yang mampu saja.  Sedangkan bagi yang kurang mampu pemberian nama tersebut dapat dilakukan kapan saja dan tidak harus dengan mengadakan walimah.
Puputan tersebut dikaitkan dengan sesuatu yang datang dari Islam, seperti dikaitkan dengan aqiqah, dikaitkan dengan pemberian nama anak, dikaitkan dengan walimah, dan lainnya, sehingga jadilah tradisi puputan tersebut dianggap sebagai tradisi Islam.  Memang tidak salah dan sangat dapat dipertanggungjawabkan kalau puputan tersebut disebut sebagai tradisi Islam, meskipun sangat mungkin di belahan bumi lainnya, banyak umat Islam tidak melakukan tradisi ini.
            Lebih-lebih kalau tradisi puputan tersebut kemudian didalamnya dibacakan kalimat kalimat Tuhan yang baik, tahlilan, dan pembacaan shalawat Nabi.  Tentu bacaan-bacaan tersebut akan semakin menambah nuansa Islam yang tidak terbantahkan lagi.  Dan Memang pada setiap puputan, dapat dipastian disitu dibacakan Shalawat Nabi dan asyraqalan, karena pada saat asyaraqalan itulah si jabang bayi biasanya dikelilingkan di sekitar para pembaca shalawat tersebut dengan harapan bahwa nantinya anak tersebut akan terbiasa membaca shalawat Nabi.
Tradisi mencukur rambut bayi juga selalu mengiringi puputan tersebut, dan biasanya dimintakan kepada sesepuh dan tokoh masyarakat setempat.  Tradisi ini menandakan bahwa si bayi tersebut sudah diberi nama dan disaksikan oleh para tokoh dan ulama' setempat, serta masyarakat sekitar.  Tradisi seperti inilah yang selalu dilestarikan dan dipertahankan oleh masyarakat musllim di Jawa dan mungkin saat ini telah merambah ke berbagai daerah lainnya.
            Semoga masyarakat nantinya akan dapat memanfaatkan acara puputan tersebut sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan  mereka dalam hal syariat, dan sekaligus  dapat menjalin silaturahmi dengan sesama masyarakat. Amin.

--***--

No comments:

Post a Comment

PERSPEKTIF PANCASILA DALAM KAJIAN DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA

PERSPEKTIF PANCASILA DALAM KAJIAN DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA Oleh : Salvika Janti Lestari [*] ) Perspektif Pancasil...