Saturday, June 21, 2014

Upacara Cing-cing Goling


Upacara Cing-cing Goling
Dusun Gedangan, Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo
Kabupaten Gunung Kidul - D.I. Yogyakarta – Indonesia

A. Selayang Pandang
Upacara Cing-cing Goling dapat dikategorikan sebagai upacara selamatan atau ungkapan rasa syukur. Perayaan ini rutin dilakukan setiap tahun di Dusun Gedangan, Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Pada setiap perhelatannya, Upacara Cing-cing Goling mampu menjadi magnet yang menarik perhatian masyarakat, baik yang berasal dari Kabupaten Gunungkidul maupun dari luar daerah.
Menurut keterangan dari beberapa kalangan, Upacara Cing-cing Goling merupakan ungkapan rasa syukur atas keberhasilan panen masyarakat setempat dan para pelarian dari Kerajaan Majapahit. Peristiwa pelarian orang-orang Kerajaan Majapahit ditengarai terjadi ketika Kerajaan Majapahit berada di ambang keruntuhan pada abad ke-15. Saat itu Kerajaan Majapahit diperintah oleh Raja Brawijaya V. Para pelarian yang dipimpin oleh Wisang Sanjaya dan Yudopati ini, menempuh perjalanan dari Jawa Timur hingga tiba di daerah yang kini dikenal dengan nama Dusun Gedangan, Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul.
Di daerah ini, Wisang Sanjaya, Yudopati, dan pelarian lainnya mencoba membaur dengan penduduk sekitar yang tinggal lebih dulu. Penduduk setempat menerima mereka karena sikap mereka yang dikenal ringan tangan dan mudah bergaul. Ditambah lagi, penduduk setempat menganggap para pelarian ini telah berjasa besar dalam membantu mengamankan daerah Gedangan dari serbuan para penjahat yang kala itu sering datang dan mengincar hasil panen para penduduk.
Selain membantu mengusir para penjahat, pelarian dari Kerajaan Majapahit ini juga berusaha memajukan pertanian dengan cara membuat bendungan di Sungai Kedung Dawang. Bersama dengan masyarakat setempat, para pelarian ini bahu-membahu membuat bendungan agar sawah di sekitar daerah Gedangan tidak kekurangan pasokan air. Usaha ini membuahkan hasil, sawah-sawah milik para penduduk Gedangan tidak pernah mengalami kekeringan (kekurangan pasokan air).
Bendungan yang dibangun atas usaha bersama antara pelarian dari Kerajaan Majapahit dengan penduduk sekitar tersebut diberi nama Bendungan Sungai Kedung Dawang (Bendungan Kedung Dawang). Pada masa penjajahan Belanda, bendungan ini sempat dibangun ulang. Hingga kini, bendungan ini masih berfungsi sebagai pemasok air untuk irigasi lahan pertanian daerah Gedangan.
Ketika Bendungan Dawe selesai dibuat dan berfungsi untuk mengairi sawah serta tiba masa panen, para pelarian dari Kerajaan Majapahit dan penduduk setempat menggelar upacara selamatan sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang mereka peroleh sekaligus meminta berkah untuk panen di masa yang akan datang. Upacara selamatan inilah yang kini dikenal dengan nama Upacara Cing-cing Goling. .
Upacara Cing-cing Goling merupakan perpaduan dua unsur yang sebenarnya cukup berbeda, yaitu unsur Hindu yang dibawa oleh pelarian dari Kerajaan Majapahit dan unsur kejawen dari penduduk yang mendiami wilayah yang kini dikenal dengan nama Dusun Gedangan. Meski berbeda, kedua unsur ini ternyata bisa berpadu dengan apik yang dibuktikan dengan perayaan selamatan bersama yang terwujud lewat Upacara Cing-cing Goling. Para pelarian yang bisa membaur dan penduduk setempat yang mau menerima orang-orang asing menandakan bahwa kebudayaan lokal mempunyai kearifan tersendiri dan tidak antipati terhadap masuknya budaya pendatang.
B. Asal Usul Nama Cing-Cing Goling
Kenapa upacara ini dinamakan Cing-Cing Giling? Inipun ada kaitannya dengan perjalanan Kyai Wisang Sanjaya beserta istrinya dan para pengawalnya. Saat istri Kyai Wisang Sanjaya dikejar-kejar oleh para pemuda nakal, maka beliau menyingkapakan kainya (Jawa : cincing) agar dapat berlari kencang. Namun justru saat itulah para pemuda nakal semakin bergairah bila menyaksikan betis mulus istri Kyai Wisang Sanjaya, yang tampak karena kainnya tersingkap. Sedangkan  Goling bermakna tergiur hatinya atau imannya yang kurang kuat dalam mengendalikan syafatnya. Jadilah nama upacara ini menjadi Cing-Cing Goling
C. Prosesi Upacara Cing-cing Goling
Upacara Cing-cing Goling merupakan upacara adat sebagai ritual penghormatan terhadap roh leluhur ataupun roh pelindung masyarakat di Dusun Gedangan, Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo. Perhelatan ini jatuh pada pascapanen ke-2, yaitu sekitar bulan Mei, Juni, dan Juli dan berlangsung menurut hari dalam pasaran Jawa, yaitu hari Senin Wage atau Kamis Kliwon. Upacara Cing-cing Goling dilaksanakan di Bendungan Dawe (Bendungan Kedung Dawang).
                Upacara Cing-cing Goling adalah simbulitas ritualisasi perjalanan Kyai Gedangan dengan pengikutnya yang dijadikan momentum masyarakat Gedangan. Dalam prosesi ini ditampilkan sebuah hiburan berupa tarian Cingcing Goling. Upacara ini dilaksanakan setiap musim kemarau setelah panen dalam setiap tahunya yang tidak lain bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur atas pemberian keselamatan dan rezeki yang melimpah dari hasil pertanian.
                Dalam upacara itu ditampilkan sebuah tarinan yang terdiri dari 23orang , dimana terdiri dari 22 orang pria dan 1 orang wanita. Hal ini menggambarkan perjalanan pangjang Kyai Wisang Sanjaya atau Kyai Gedangan dari Kerajaan Majapahit sampai desa Gedangan. Di tengah perjalanan beliau bersama istrinya selalu mendapat rintangan, terutama digoda oleh para pemuda nakal. Saat itulah Kyai Wisang Sanjaya mengacungkan cemetinya dan berlarianlah para penggoda itu.
Selain mendapatkan pengetahuan tentang kesenian khas Gunungkidul, pengunjung yang menyaksikan secara langsung di sekitar Bendungan Kedung Dawang juga mendapatkan makan. Makanan berasal dari ayam dan lauk pauk yang dipakai dalam ritual Upacara Cing-cing Goling. Setelah pembacaan doa oleh pemangku adat untuk keselamatan seluruh penduduk dan kesejahteraan para petani, ratusan ayam (biasanya berbentuk ingkung), lauk pauk, dan nasi dibagikan kepada para pengunjung dan masyarakat sekitar yang tinggal di dekat Bendungan Kedung Dawang.
D. Sedekah (sodakoh) Cing-cing goling
Upacara Cing-cing Goling merupakan upacara selamatan yang berskala besar untuk ukuran sebuah perayaan adat. Setiap digelar, upacara ini menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Keperluan untuk upacara tersebut misalnya pembuatan tempat upacara, pembelian ratusan ayam (kadang mencapai 800 ekor) untuk keperluan upacara, pembelian berbagai sesaji, pementasan berbagai kesenian adat berupa cerita rakyat dalam bentuk fragmen yang berkisah tentang cerita pelarian orang-orang dari Kerajaan Majapahit (pada salah satu adegan terlihat puluhan orang berlarian menginjak-injak tanaman pertanian yang terdapat di sekitar bendungan. Berdasarkan kepercayaan masyarakat, tanaman yang diinjak-injak saat berlangsung Upacara Cing-cing Goling itu akan bertambah subur), dan pementasan Tari Cing-cing Goling.
Ada hal yang menarik dari ritual persembahan ayam, yaitu kemasan berbentuk "tas" yang terbuat dari janur atau daun kelapa untuk wadah ayam tersebut. Kemasan dari janur ini kini sudah sangat langka ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Gunungkidul. Meskipun memerlukan biaya yang tak sedikit, tetapi Upacara Cing-cing Goling tetap dihelat setiap tahunnya. Masyarakat Gedangan menganggap upacara yang telah bertahan selama berabad-abad ini sebagai bagian dari adat dan harus dilestarikan
Telah diterangkan ketika Yudopati membuat irigasi, parit atau selokan untuk mengaliri sawah-sawah warga Gedangan dengan cis pusakanya, ada dua peristia, yaitu ibu hamil yang meninggal  saat melahirkan dan pembuat tempe kedelai yang sedang menstruasi. Inipun menjadi pantangan yaitu bagi ibu hamil agar tidak menyaksikan upacara Cing-Cing Goling , sedangkan hidangan yang dibuat penduduk Gedangan saat Upacara cing-Cing Goling tak menggunakn tempe dari kedelai dan juga tidak boleh di icipi lebih lebih dimakam sebelum upacara selesai. Karena banyak cerita bahwa seorang warga tidak mempercayai hal itu dan makan hidangan itu sebelum disyahkan dalam do’a , orang tersebut mendapat musibah yaitu meninggal dunia.
 Kenapa hal itu terjadi? Karena kebersamaan dan patuh terhadap aturan dijunjung tinggioleh Kyai tropoyo (sesepuh Gedangan). Dengan sesanti seboyo mukti seboyo mati itulah falsafah orang yang mendahulukan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi. Yang artinya apabila mukti atau hidup enak semua harus merasakan dan kalau hidupnya pahit juga harus ditanggung bersama. Jadi keberhasilan atas bendungan kedung dawang semua harus bisa merasakan hasilnya walaupun hanya melalui sedakohan setiap setahun sekali. Begitulah upacara tradisi ini yang dilaksanakan oleh warga Gedangan sejak abad ke-15 turun temurun sampai saat ini.
Sumber Foto: www.gunungkidulkab.go.id dan sesepuh adat setempat.
By: Pudang Binuryan dan Aria Nur Pratiwi
                     XI AK 1






No comments:

Post a Comment

PERSPEKTIF PANCASILA DALAM KAJIAN DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA

PERSPEKTIF PANCASILA DALAM KAJIAN DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA Oleh : Salvika Janti Lestari [*] ) Perspektif Pancasil...