Wednesday, November 12, 2014

PERSPEKTIF PANCASILA DALAM KAJIAN DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA



PERSPEKTIF PANCASILA DALAM KAJIAN DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA



Oleh : Salvika Janti Lestari[*])


Perspektif Pancasila dalam kajian dinamika politik di Indonesia merupakan sudut pandang Pancasila yang digunakan dalam menata kehidupan politik di Indonesia. Pancasila tidak lepas dari kegigihan rakyat Indonesia dalam memperoleh kemerdekaannya. Bangsa Indonesia dengan gigih dan bertumpah darah rela berkorban untuk menjadikan bangsa Indonesia ini merdeka. Kenyataanya hingga sekarang mental terjajah bangsa Indonesia masih tertanam pada sebagian rakyat Indonesia dengan konteks yang berbeda dari apa yang dialami dan saat masa sebelum kemerdekaan.

Sunday, August 24, 2014

UPACARA LABUHAN PANTAI SELATAN


Salah satu bentuk upacara labuhan pantai selatan yang terkenal adalah labuhan di Pantai Baron, GunungKidul. Dalam hubungannya dengan upacara tradisional, yaitu upacara tradisional labuhan di Pantai Baron, berarti memberi sesaji kepada penguasa Laut Selatan, yang menurut kepercayaan sebagian warga masyarakat setempat ialah Kanjeng Ratu Kidul. Apabila dilihat dari proses penyelenggaraannya, rangkaian upacara tradisional labuhan itu berlangsung dua tahap, yaitu kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Upacara Nyadran

Di masyarakat Jawa, nyadran juga sering disebut ruwahan. Karena pelaksanaannya dilakukan pada bulan Ruwah dalam hitungan kalender Jawa. Tradisi nyadran pada umumnya merupakan ziarah kubur pada bulan Sya’ban (Arab), atau Ruwah dalam kalender Jawa, menjadi semacam kewajiban bagi orang Jawa Ziarah dengan membersihkan makam leluhur, memanjatkan d

Budaya Rinding Gumbeng



Rinding Gumbeng adalah salah satu kesenian tradisional khas Yogyakarta, khususnya Gunung Kidul. Kesenian ini menjadi cermin kehidupan masyarakat Gunung Kidul yang dikenal sederhana, ulet, serta dekat dengan alam. Kesederhanaan inilah yang selalu tampak dari setiap pagelaran Rinding Gumbeng. Meskipun terkesan sederhana pada alat dan para pemainnya, kesenian Rinding Gumbeng menyajikan alunan musik yang khas, indah, melodius, serta dinamis nan ekspresif.

Kesenian Rinding Gumbeng merupakan seni musik yang dimainkan oleh sebuah grup seni musik tradisional, biasanya terdiri dari 6 penabuh gumbeng, 6 peniup rinding dan 3 penyanyi perempuan yang disebut penyekar. Alat musik rinding dan gumbeng adalah seperangkat alat musik yang dibuat dari bahan bambu. Sementara itu, para pemain Rinding Gumbeng memakai kostum yang sangat sederhana. Para penabuh Gumbeng dan peniup Rinding biasanya hanya mengenakan baju dan celana warna hitam dengan ikat kepala dari kain batik dan penyekarnya mengenakan baju kebaya khas petani desa dengan kain luriknya. Seni musik tradisional inipun oleh warga Gunung Kidul dijadikan sebagai tradisi ritual setelah panen.

Rinding Gumbeng sebagai sebuah tradisi kesenian asli rakyat Gunung Kidul memang dipercaya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem bertani masyarakatnya. Sejak warga gunung Kidul mulai mengenal tradisi bercocok tanam sebagai ciri khas masyarakat agraris, kesenian ini telah mulai diperkenalkan oleh mereka sebagai wujud syukur atas hasil panen yang telah diperoleh. Meskipun demikian, tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan kesenian Rinding Gumbeng ada dan resmi dilegitimasikan sebagai sebuah kesenian asli Gunung Kidul sehingga terus berusaha ditransmisikan pada setiap generasi.

Dalam sejarahnya, kesenian ini dipercaya memiliki kekuatan magis untuk mendatangkan sosok imajiner Dewi Sri. Dalam teosofi masyarakat Jawa Kuno yang kental dengan nuansa mistik dan kebatinan, sosok imajiner Dewi Sri merupakan salah satu gambaran tentang sosok dewa yang dipuja sebagai sang penjaga padi. Melalui Rinding Gumbeng, masyarakat Jawa Kuno yakin bahwa Dewi Sri akan terhibur dan bahagia sehingga kelak akan memberi mereka hasil panen yang lebih melimpah. Ketika itu, masyarakat membawa hasil panen pilihan untuk dipersembahkan kepadanya. Hasil panen tersebut diarak secara meriah untuk berkeliling kampung serta diiringi seperangkat alat musik, berupa Rinding Gumbeng.
Dewasa ini, Rinding Gumbeng tidak hanya ditampilkan sebagai sebuah ritual tradisional warga Gunung Kidul, seperti tradisi upacara adat nyadran di Hutan Wonodadi. Sebagaimana dikatakan oleh salah satu pemimpin grup Rinding Gumbeng di wilayah Duren Beji, Ngawen Gunung Kidul bernama Sudiyo, kesenian ini berkali-kali juga dipentaskan dalam ajang festifal bertaraf propinsi maupun nasional dengan tujuan agar terus dapat bertahan dan berkembang. Bahkan, kesenian ini sekarang telah banyak dimodifikasi dengan berbagai tambahan karakter musik. Meskipun demikian, Rinding Gumbeng tetap berusaha mempertahankan ciri khasnya sebagai seni musik tradisional Apabila dahulu Rinding Gumbeng hanya dijadikan sebagai pengiring lagu-lagu tradisional, sekarang bisa mengiringi beberapa jenis lagu, seperti : lagu dangdut, keroncong maupun campur sari.


Nama : Ratih Kumala Dewi    (21)
            Windhyasti Saputro     (31)

UPACARA PUPUTAN



Tali pusat atau umbilical cord adalah saluran kehidupan bagi janin selama dalam kandungan. Dikatakan saluran kehidupan karena saluran inilah yang selama 9 bulan 10 hari menyuplai zat-zat gizi dan oksigen ke janin. Tetapi begitu bayi lahir, saluran ini sudah tak diperlukan lagi sehingga harus dipotong dan diikat atau dijepit.
Sisa tali pusat yang masih menempel di perut bayi (umbilical stump), akan mengering dan biasanya akan terlepas sendiri dalam waktu 1-3 minggu, meskipun ada juga yang baru lepas setelah 4 minggu. Umumnya orangtua baru (seperti papa mama) agak takut-takut menangani bayi baru lahirnya, karena keberadaan si umbilical stump ini. Meski penampakannya sedikit ’mengkhawatirkan’, tetapi kenyataannya bayi tidak merasa sakit atau terganggu karenanya.
Membersihkan Tali Pusat Bayi
                          
Berikut ini langkah-langkah membersihkan tali pusat bayi dari :
1.      Mandikan bayi seperti biasa.
2.      Gosok tali pusat dengan sabun secara perlahan
3.      Angkat dan letakkan bayi di meja ganti (baby tafel)
4.      Keringkan tubuh bayi dengan handuk
5.      Angkat (bukan menarik) sedikit tali pusat, kemudian bersihkan sisa air pada pangkal tali pusat dengan kasa steril atau kapas.
6.      Bersihkan dengan alkohol menggunakan kapas (optional).
7.      Kemudian kipas-kipas dengan tangan atau tiup supaya cepat kering.
8.      Bila tetap ingin menutupi tali pusat tersebut, gunakan kain kasa steril.
9.      Lilitkan kain kasa pada bagian atas tali pusat, jangan sampai ke bagian pangkalnya.
10.  Pastikan bagian pangkal tersebut dapat terkena udara dengan leluasa.
11.  Setelah si kecil diberi minyak telon dan bedak, kenakan popok kain dan baju atasan.
12.  Tali pusat harus dibersihkan sedikitnya dua kali dalam sehari.
Biarkan tali pusat lepas dengan sendirinya. Jangan memegang-megang atau
bahkan menariknya meskipun Anda gemas melihat bagian tali pusat yang
’menggantung’ di perut bayi hanya tinggal selembar benang.
Orangtua dapat menghubungi dokter bila tali pusat belum juga puput setelah 4 minggu, atau bila terlihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti; pangkal tali pusat dan daerah sekitarnya berwarna merah, keluar cairan yang berbau, ada darah yang keluar terus- menerus, dan/atau bayi demam tanpa sebab yang jelas. Setelah tali pusat, terkadang pusar bayi terlihat menonjol (bodong).
Dalam budaya kita ada anjuran untuk menempelkan uang logam (binggel) di atas pusar bayi setelah tali pusatnya puput. Tujuannya agar pusar anak tidak menonjol (bodong). Padahal tanpa diberi pemberat pun (uang logam), lama-lama tonjolan tersebut akan menghilang.
Eh ternyata di budaya jawa, ada juga hal-hal tertentu, upacara-upacara yang harus dilakukan orang tua bayi. Namanya Upacara Puputan atau Dhautan
Upacara Puputan atau Dhautan

Dhautan atau puputan berasal dari kata dhaut atau puput yang berarti lepas. Barangkali istilah ini bagi sebagian orang, terutama yang berasal dari luar tradisi Jawa terasa asing, namun bagi kalangan  masyarakat di Jawa, istilah ini merupakan istilah biasa, yakni selamatan untuk menandai bahwa anak yang bau dilahirkan telah putus pusarnya. Bagi orang tua yang cukup mampu, biasanya acara puputan tersebut dibarengkan dengan aqiqahan atau menyembelih hewan seperti hewan kurban yang diperuntukkan bagi bayi tersebut dan kemudian dagingnya dibagikan kepada para tetangga dan kerabat.

Salah satu sarana yang penting dalam upacara ini adalah mainan anak-anak yang diperuntukkan bagi kerabat bayi (kakang kawah adhi ari-ari, sedulur papat lima pancer). Maksudnya kakang kawah karena kawah atau air ketuban pecah mendahului bayi, sehingga kawah dianggap sebagai saudara tua bayi, sedangkan ari-ari keluar sesudah bayi lahir, sehingga disebut adhi ari-ari. Sedulur papat lima pancer dimaksudkan bahwa saat bayi lahir di dunia, tidak hanya sendirian tetapi dengan empat saudara, yaitu kawah, ari-ari, darah, dan pusar, lima pancer maksudnya bayi itu sendiri sebagai pancer atau pusatnya. Konsep sedulur papat lima pancer ini dipakai sebagai salah satu konsep dasar kehidupan oleh masyarakat Jawa. Konsep ini sudah mendarah daging dalam jiwa setiap masyarakat Jawa. Hal ini terbukti dalam termuatnya konsep ini dalam primbon-primbon yang sampai sekarang ini masih kerap menjadi pedoman masyarakat Jawa dalam pengambilan keputusan seperti pindah rumah, menikahkan anaknya, memilih jodoh, dan lain-lain.

Salah satu primbon yang memuat mengenai konsep kakang kawah adhi ari-ari adalah Primbon Jawi. Disebutkan dalam Sura (2005: 27) bahwa saudara-saudara bayi tidak hanya 4, melainkan 8, yaitu (1) Celeng Demalung dari kawah, (2) Asu Ajag dari ari-ari, (3) Kalasrenggi dari darah, (4) Kutilapas dari bungkus, (5) Kalarandhing dari lendir, (6) Kalawekas dari kunir yang dijadikan sebagai alas, (7) Taliwangke dari usus ari-ari, dan (8) Tikus Jinanda dari bagian ari-ari yang terlepas.




Upacara ini biasanya diadakan kenduri selamatan sebagai ungkapan rasa syukur dipimpin oleh kaum (yang dituakan) dengan dihadiri oleh para kerabat dan bapak-bapak tetangga terdekat. Sesajian yang perlu dipersiapkan pada upacara puputan ialah sega gudangan, nasi dengan lauk pauk sayur mayur dan parutan kelapa, jenang abang, jenang putih, dan jajan pasar. Perlengkapan upacara ini meliputi:
- Golongan bangsawan: nasi gudangan, jenang abang putih, lima macam bubur dan jajan pasar.
- Golongan rakyat biasa: nasi jangan, jenang abang putih, jenang baro-baro dan jajan pasar.
Waktu penyelenggaraan upacara puputan tidak dapat ditentukan secara pasti karena putusnya tali pusar masing-masing bayi tidak sama. Adakalanya tali pusar lepas setelah bayi berumur satu minggu, adakalanya kurang dari satu minggu. Upacara ini diadakan setelah maghrib dan dihadiri oleh bayi, ibu, dukun, pinisepuh, dan sanak saudara.
Upacara puputan ini ditandai antara lain dengan dipasangnya sawuran, yaitu bawang merah, dlingo, bengle yang dimasukkan ke dalam ketupat, dan aneka macam duri kemarung di sudut-sudut kamar bayi. Selain itu dipasang juga daun nanas dipoles warna hitam putih, dedaunan apa-apa, awar-awar, dan girang, dan duri kemarung. Di halaman rumah ditegakkan tumbak sewu. Di tempat tidur bayi diletakkan benda-benda tajam seperti pisau, gunting.

Bayi perempuan setelah tali pusarnya lepas, pusarnya ditutupi dengan biji
ketumbar sedangkan laki-laki ditutupi dengan biji merica dengan dilekati obat
tradisional Jawa berupa ramuan benangsari bunga nagasari, dan lain-lain yang
ditumbuk sampai halus. Tali pusar yang barusaja putus dibungkus dengan kain
banguntulak untul bantal si bayi sampai bayi berumur selapan (35 hari).
            Biasanya dalam puputan tersebut juga ditandai dengan memberikan nama bagi sang jabang bayi.  Pemberian nama tersebut memang menurut Nabi dianjurkan untuk dilakukan dalam suatu pesta atau walimah, namun hal tersebut bukan merupakan kewajiban, dan hanya dianjurkan bagi yang mampu saja.  Sedangkan bagi yang kurang mampu pemberian nama tersebut dapat dilakukan kapan saja dan tidak harus dengan mengadakan walimah.
Puputan tersebut dikaitkan dengan sesuatu yang datang dari Islam, seperti dikaitkan dengan aqiqah, dikaitkan dengan pemberian nama anak, dikaitkan dengan walimah, dan lainnya, sehingga jadilah tradisi puputan tersebut dianggap sebagai tradisi Islam.  Memang tidak salah dan sangat dapat dipertanggungjawabkan kalau puputan tersebut disebut sebagai tradisi Islam, meskipun sangat mungkin di belahan bumi lainnya, banyak umat Islam tidak melakukan tradisi ini.
            Lebih-lebih kalau tradisi puputan tersebut kemudian didalamnya dibacakan kalimat kalimat Tuhan yang baik, tahlilan, dan pembacaan shalawat Nabi.  Tentu bacaan-bacaan tersebut akan semakin menambah nuansa Islam yang tidak terbantahkan lagi.  Dan Memang pada setiap puputan, dapat dipastian disitu dibacakan Shalawat Nabi dan asyraqalan, karena pada saat asyaraqalan itulah si jabang bayi biasanya dikelilingkan di sekitar para pembaca shalawat tersebut dengan harapan bahwa nantinya anak tersebut akan terbiasa membaca shalawat Nabi.
Tradisi mencukur rambut bayi juga selalu mengiringi puputan tersebut, dan biasanya dimintakan kepada sesepuh dan tokoh masyarakat setempat.  Tradisi ini menandakan bahwa si bayi tersebut sudah diberi nama dan disaksikan oleh para tokoh dan ulama' setempat, serta masyarakat sekitar.  Tradisi seperti inilah yang selalu dilestarikan dan dipertahankan oleh masyarakat musllim di Jawa dan mungkin saat ini telah merambah ke berbagai daerah lainnya.
            Semoga masyarakat nantinya akan dapat memanfaatkan acara puputan tersebut sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan  mereka dalam hal syariat, dan sekaligus  dapat menjalin silaturahmi dengan sesama masyarakat. Amin.

--***--

Saturday, June 21, 2014

Upacara Cing-cing Goling


Upacara Cing-cing Goling
Dusun Gedangan, Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo
Kabupaten Gunung Kidul - D.I. Yogyakarta – Indonesia

A. Selayang Pandang
Upacara Cing-cing Goling dapat dikategorikan sebagai upacara selamatan atau ungkapan rasa syukur. Perayaan ini rutin dilakukan setiap tahun di Dusun Gedangan, Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Pada setiap perhelatannya, Upacara Cing-cing Goling mampu menjadi magnet yang menarik perhatian masyarakat, baik yang berasal dari Kabupaten Gunungkidul maupun dari luar daerah.

Upacara Kebudayaan Tingkeban




Tingkeban adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masya

TARI JANGGRUNG



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUifjO8J4IIM371v76KCUZYI2ewY0JEpmNrXlJToAkgaSDFLQLnCdv4AqJCGxGVb2N6n4cyIb6nBHb49Vd-EKx2OPlpiuLoxkpXeC90g5f2FA94_QBndZ4zKyRgroSVIQNp4z96iIg5x4R/s320/Tarian+Janggrung.jpgTarian Janggrung di daerah Kecamatan Semanu Gunungkidul merupakan jenis kesenian yang disakralkan. Dalam setiap pelaksanaan acara bersih desa, setiap tahunnya kesenian ini selalu dipentaskan di tempat yang dikeramatkan, yakni di bawah pohon asem dan Kepoh yang berada di Dusun Munggi Desa Munggi Kecamatan Semanu. Konon, tempat tersebut dipercaya sebagai cikal bakal berdirinya da

UPACARA KEBUDAYAAN SEKATEN



Di lingkungan Kraton Yogyakarta, setiap tahun diadakan upacara adat yaitu Sekaten atau lebih dikenal dengan Pasar Malam Perayaan Sekaten. Karena sebelum upacara Sekaten dimulai, terlebih dahulu diadakan kegiatan ‘pasar malam’ selama satu bulan penuh. Tradisi ini sudah ada sejak jaman Kerajaan Demak (abad ke-16) dan diadakan setiap bulan Maulud, bulan ke-tiga dalam tahun Jawa, dengan lokasi di alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta

PROPOSAL USAHA SERABI KOCOR (Ditulis Oleh Kurniati)



Nama/No Abs. : Kurniati /14
                          Rusitaningsih/25
Kelas                : XI AK 1

SERABI KOCOR
Upacara Srabi Kocor merupakan upacara yang dilakukan petani dengan maksud dan tujuan minta hujan . Upacara ini diadakan saat kemarau panjang dilakukan pada hari Jum’at legi, sambil memperingati kelahiran tokoh mitos desa Bandung yaitu Eyang Andansari, beliau seorang wanita yang konon menurut tutur masyarakat yang memberi dan membuat sendang untuk menopang hidup penduduk desa Bandung. Sendang tersebut terletak di dusun Kano

SEDEKAH BUMI



Sedekah bumi merupakan simbol dari rasa syukur dari hasil bumi yang melimpah, dan biasanya di lakukan atas pelaksanaannya tiap tahun atau merupakan tradisi tahunan salah satu contoh adalah sedekah bumi yang di lakukan oleh masyarakat Kedungsuren Kecamatan Kaliwungu Selatan. Pada hari  Jumat (17/12) selain sedekah bumi, dalam pelaksanaan tradisi tahunan tersebut juga dibarengi dengan haul Kiai Abdillah Baqik yang dipercaya sebagai sesepuh yang pernah membangun alias “mbabat alas” Desa Kedungsuren, semakin menambah gayengnya a

PERSPEKTIF PANCASILA DALAM KAJIAN DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA

PERSPEKTIF PANCASILA DALAM KAJIAN DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA Oleh : Salvika Janti Lestari [*] ) Perspektif Pancasil...