Sunday, August 24, 2014

Budaya Rinding Gumbeng



Rinding Gumbeng adalah salah satu kesenian tradisional khas Yogyakarta, khususnya Gunung Kidul. Kesenian ini menjadi cermin kehidupan masyarakat Gunung Kidul yang dikenal sederhana, ulet, serta dekat dengan alam. Kesederhanaan inilah yang selalu tampak dari setiap pagelaran Rinding Gumbeng. Meskipun terkesan sederhana pada alat dan para pemainnya, kesenian Rinding Gumbeng menyajikan alunan musik yang khas, indah, melodius, serta dinamis nan ekspresif.

Kesenian Rinding Gumbeng merupakan seni musik yang dimainkan oleh sebuah grup seni musik tradisional, biasanya terdiri dari 6 penabuh gumbeng, 6 peniup rinding dan 3 penyanyi perempuan yang disebut penyekar. Alat musik rinding dan gumbeng adalah seperangkat alat musik yang dibuat dari bahan bambu. Sementara itu, para pemain Rinding Gumbeng memakai kostum yang sangat sederhana. Para penabuh Gumbeng dan peniup Rinding biasanya hanya mengenakan baju dan celana warna hitam dengan ikat kepala dari kain batik dan penyekarnya mengenakan baju kebaya khas petani desa dengan kain luriknya. Seni musik tradisional inipun oleh warga Gunung Kidul dijadikan sebagai tradisi ritual setelah panen.

Rinding Gumbeng sebagai sebuah tradisi kesenian asli rakyat Gunung Kidul memang dipercaya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem bertani masyarakatnya. Sejak warga gunung Kidul mulai mengenal tradisi bercocok tanam sebagai ciri khas masyarakat agraris, kesenian ini telah mulai diperkenalkan oleh mereka sebagai wujud syukur atas hasil panen yang telah diperoleh. Meskipun demikian, tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan kesenian Rinding Gumbeng ada dan resmi dilegitimasikan sebagai sebuah kesenian asli Gunung Kidul sehingga terus berusaha ditransmisikan pada setiap generasi.

Dalam sejarahnya, kesenian ini dipercaya memiliki kekuatan magis untuk mendatangkan sosok imajiner Dewi Sri. Dalam teosofi masyarakat Jawa Kuno yang kental dengan nuansa mistik dan kebatinan, sosok imajiner Dewi Sri merupakan salah satu gambaran tentang sosok dewa yang dipuja sebagai sang penjaga padi. Melalui Rinding Gumbeng, masyarakat Jawa Kuno yakin bahwa Dewi Sri akan terhibur dan bahagia sehingga kelak akan memberi mereka hasil panen yang lebih melimpah. Ketika itu, masyarakat membawa hasil panen pilihan untuk dipersembahkan kepadanya. Hasil panen tersebut diarak secara meriah untuk berkeliling kampung serta diiringi seperangkat alat musik, berupa Rinding Gumbeng.
Dewasa ini, Rinding Gumbeng tidak hanya ditampilkan sebagai sebuah ritual tradisional warga Gunung Kidul, seperti tradisi upacara adat nyadran di Hutan Wonodadi. Sebagaimana dikatakan oleh salah satu pemimpin grup Rinding Gumbeng di wilayah Duren Beji, Ngawen Gunung Kidul bernama Sudiyo, kesenian ini berkali-kali juga dipentaskan dalam ajang festifal bertaraf propinsi maupun nasional dengan tujuan agar terus dapat bertahan dan berkembang. Bahkan, kesenian ini sekarang telah banyak dimodifikasi dengan berbagai tambahan karakter musik. Meskipun demikian, Rinding Gumbeng tetap berusaha mempertahankan ciri khasnya sebagai seni musik tradisional Apabila dahulu Rinding Gumbeng hanya dijadikan sebagai pengiring lagu-lagu tradisional, sekarang bisa mengiringi beberapa jenis lagu, seperti : lagu dangdut, keroncong maupun campur sari.


Nama : Ratih Kumala Dewi    (21)
            Windhyasti Saputro     (31)

No comments:

Post a Comment

PERSPEKTIF PANCASILA DALAM KAJIAN DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA

PERSPEKTIF PANCASILA DALAM KAJIAN DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA Oleh : Salvika Janti Lestari [*] ) Perspektif Pancasil...