Rinding
Gumbeng adalah salah satu kesenian tradisional khas Yogyakarta, khususnya
Gunung Kidul. Kesenian ini menjadi cermin kehidupan masyarakat Gunung Kidul
yang dikenal sederhana, ulet, serta dekat dengan alam. Kesederhanaan inilah
yang selalu tampak dari setiap pagelaran Rinding Gumbeng. Meskipun terkesan
sederhana pada alat dan para pemainnya, kesenian Rinding Gumbeng menyajikan
alunan musik yang khas, indah, melodius, serta dinamis nan ekspresif.
Kesenian
Rinding Gumbeng merupakan seni musik yang dimainkan oleh sebuah grup seni musik
tradisional, biasanya terdiri dari 6 penabuh gumbeng, 6 peniup rinding dan 3
penyanyi perempuan yang disebut penyekar. Alat musik rinding dan gumbeng adalah
seperangkat alat musik yang dibuat dari bahan bambu. Sementara itu, para pemain
Rinding Gumbeng memakai kostum yang sangat sederhana. Para penabuh Gumbeng dan
peniup Rinding biasanya hanya mengenakan baju dan celana warna hitam dengan
ikat kepala dari kain batik dan penyekarnya mengenakan baju kebaya khas petani
desa dengan kain luriknya. Seni musik tradisional inipun oleh warga Gunung
Kidul dijadikan sebagai tradisi ritual setelah panen.
Rinding
Gumbeng sebagai sebuah tradisi kesenian asli rakyat Gunung Kidul memang
dipercaya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem bertani
masyarakatnya. Sejak warga gunung Kidul mulai mengenal tradisi bercocok tanam
sebagai ciri khas masyarakat agraris, kesenian ini telah mulai diperkenalkan
oleh mereka sebagai wujud syukur atas hasil panen yang telah diperoleh.
Meskipun demikian, tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan kesenian
Rinding Gumbeng ada dan resmi dilegitimasikan sebagai sebuah kesenian asli
Gunung Kidul sehingga terus berusaha ditransmisikan pada setiap generasi.
Dalam
sejarahnya, kesenian ini dipercaya memiliki kekuatan magis untuk mendatangkan
sosok imajiner Dewi Sri. Dalam teosofi masyarakat Jawa Kuno yang kental dengan
nuansa mistik dan kebatinan, sosok imajiner Dewi Sri merupakan salah satu
gambaran tentang sosok dewa yang dipuja sebagai sang penjaga padi. Melalui
Rinding Gumbeng, masyarakat Jawa Kuno yakin bahwa Dewi Sri akan terhibur dan
bahagia sehingga kelak akan memberi mereka hasil panen yang lebih melimpah.
Ketika itu, masyarakat membawa hasil panen pilihan untuk dipersembahkan
kepadanya. Hasil panen tersebut diarak secara meriah untuk berkeliling kampung
serta diiringi seperangkat alat musik, berupa Rinding Gumbeng.
Dewasa
ini, Rinding Gumbeng tidak hanya ditampilkan sebagai sebuah ritual tradisional
warga Gunung Kidul, seperti tradisi upacara adat nyadran di Hutan Wonodadi.
Sebagaimana dikatakan oleh salah satu pemimpin grup Rinding Gumbeng di wilayah
Duren Beji, Ngawen Gunung Kidul bernama Sudiyo, kesenian ini berkali-kali juga
dipentaskan dalam ajang festifal bertaraf propinsi maupun nasional dengan
tujuan agar terus dapat bertahan dan berkembang. Bahkan, kesenian ini sekarang
telah banyak dimodifikasi dengan berbagai tambahan karakter musik. Meskipun
demikian, Rinding Gumbeng tetap berusaha mempertahankan ciri khasnya sebagai
seni musik tradisional Apabila dahulu Rinding Gumbeng hanya dijadikan sebagai
pengiring lagu-lagu tradisional, sekarang bisa mengiringi beberapa jenis lagu,
seperti : lagu dangdut, keroncong maupun campur sari.
Nama : Ratih Kumala
Dewi (21)
Windhyasti Saputro (31)
No comments:
Post a Comment