A. Selayang Pandang 
Upacara
  Cing-cing Goling dapat dikategorikan sebagai upacara selamatan atau ungkapan
  rasa syukur. Perayaan ini rutin dilakukan setiap tahun di Dusun Gedangan,
  Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Pada setiap
  perhelatannya, Upacara Cing-cing Goling mampu menjadi magnet yang menarik
  perhatian masyarakat, baik yang berasal dari Kabupaten Gunungkidul maupun
  dari luar daerah.
 
Menurut
  keterangan dari beberapa kalangan, Upacara Cing-cing Goling merupakan
  ungkapan rasa syukur atas keberhasilan panen masyarakat setempat dan para
  pelarian dari Kerajaan Majapahit. Peristiwa pelarian orang-orang Kerajaan
  Majapahit ditengarai terjadi ketika Kerajaan Majapahit berada di ambang
  keruntuhan pada abad ke-15. Saat itu Kerajaan Majapahit diperintah oleh Raja
  Brawijaya V. Para pelarian yang dipimpin oleh Wisang Sanjaya dan Yudopati
  ini, menempuh perjalanan dari Jawa Timur hingga tiba di daerah yang kini
  dikenal dengan nama Dusun Gedangan, Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo,
  Kabupaten Gunungkidul. 
Di daerah ini, Wisang Sanjaya, Yudopati, dan pelarian
  lainnya mencoba membaur dengan penduduk sekitar yang tinggal lebih dulu.
  Penduduk setempat menerima mereka karena sikap mereka yang dikenal ringan
  tangan dan mudah bergaul. Ditambah lagi, penduduk setempat menganggap para
  pelarian ini telah berjasa besar dalam membantu mengamankan daerah Gedangan
  dari serbuan para penjahat yang kala itu sering datang dan mengincar hasil
  panen para penduduk. 
Selain membantu mengusir para penjahat, pelarian dari
  Kerajaan Majapahit ini juga berusaha memajukan pertanian dengan cara membuat
  bendungan di Sungai Kedung Dawang. Bersama dengan masyarakat setempat, para
  pelarian ini bahu-membahu membuat bendungan agar sawah di sekitar daerah
  Gedangan tidak kekurangan pasokan air. Usaha ini membuahkan hasil,
  sawah-sawah milik para penduduk Gedangan tidak pernah mengalami kekeringan (kekurangan
  pasokan air). 
Bendungan yang dibangun atas usaha bersama antara
  pelarian dari Kerajaan Majapahit dengan penduduk sekitar tersebut diberi nama
  Bendungan Sungai Kedung Dawang (Bendungan Kedung Dawang). Pada masa
  penjajahan Belanda, bendungan ini sempat dibangun ulang. Hingga kini,
  bendungan ini masih berfungsi sebagai pemasok air untuk irigasi lahan
  pertanian daerah Gedangan. 
Ketika Bendungan Dawe selesai dibuat dan berfungsi
  untuk mengairi sawah serta tiba masa panen, para pelarian dari Kerajaan Majapahit
  dan penduduk setempat menggelar upacara selamatan sebagai ungkapan rasa
  syukur atas panen yang mereka peroleh sekaligus meminta berkah untuk panen di
  masa yang akan datang. Upacara selamatan inilah yang kini dikenal dengan nama
  Upacara Cing-cing Goling. .  
Upacara Cing-cing Goling merupakan perpaduan dua unsur
  yang sebenarnya cukup berbeda, yaitu unsur Hindu yang dibawa oleh pelarian
  dari Kerajaan Majapahit dan unsur kejawen dari penduduk yang mendiami wilayah
  yang kini dikenal dengan nama Dusun Gedangan. Meski berbeda, kedua unsur ini
  ternyata bisa berpadu dengan apik yang dibuktikan dengan perayaan selamatan
  bersama yang terwujud lewat Upacara Cing-cing Goling. Para pelarian yang bisa
  membaur dan penduduk setempat yang mau menerima orang-orang asing menandakan
  bahwa kebudayaan lokal mempunyai kearifan tersendiri dan tidak antipati
  terhadap masuknya budaya pendatang. 
B. Asal Usul Nama Cing-Cing Goling 
Kenapa upacara ini dinamakan Cing-Cing
  Giling? Inipun ada kaitannya dengan perjalanan Kyai
  Wisang Sanjaya beserta istrinya dan para pengawalnya. Saat istri Kyai Wisang
  Sanjaya dikejar-kejar oleh para pemuda nakal, maka beliau menyingkapakan
  kainya (Jawa : cincing) agar dapat berlari kencang. Namun justru saat itulah
  para pemuda nakal semakin bergairah bila menyaksikan betis mulus istri Kyai Wisang Sanjaya, yang tampak karena kainnya tersingkap. Sedangkan  Goling bermakna tergiur hatinya atau
  imannya yang kurang kuat dalam mengendalikan syafatnya. Jadilah nama upacara ini menjadi
  Cing-Cing Goling 
C. Prosesi Upacara Cing-cing Goling 
Upacara Cing-cing Goling merupakan upacara adat sebagai
  ritual penghormatan terhadap roh leluhur ataupun roh pelindung masyarakat di
  Dusun Gedangan, Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo. Perhelatan ini jatuh
  pada pascapanen ke-2, yaitu sekitar bulan Mei, Juni, dan Juli dan berlangsung
  menurut hari dalam pasaran Jawa, yaitu hari Senin Wage atau Kamis Kliwon.
  Upacara Cing-cing Goling dilaksanakan di Bendungan Dawe (Bendungan Kedung
  Dawang).  
                Upacara Cing-cing Goling
  adalah simbulitas ritualisasi perjalanan Kyai Gedangan dengan pengikutnya
  yang dijadikan momentum masyarakat Gedangan. Dalam prosesi ini ditampilkan
  sebuah hiburan berupa tarian Cingcing Goling. Upacara ini dilaksanakan setiap
  musim kemarau setelah panen dalam setiap tahunya yang tidak lain bermaksud
  untuk mengucapkan rasa syukur atas pemberian keselamatan dan rezeki yang
  melimpah dari hasil pertanian. 
                Dalam upacara itu
  ditampilkan sebuah tarinan yang terdiri dari 23orang , dimana terdiri dari 22 orang pria dan 1 orang wanita. Hal ini menggambarkan
  perjalanan pangjang Kyai Wisang Sanjaya atau Kyai Gedangan dari Kerajaan Majapahit sampai desa Gedangan. Di tengah perjalanan beliau bersama istrinya selalu
  mendapat rintangan, terutama digoda oleh para pemuda nakal. Saat itulah Kyai
  Wisang Sanjaya mengacungkan cemetinya dan berlarianlah para penggoda itu.  
Selain mendapatkan pengetahuan tentang kesenian khas
  Gunungkidul, pengunjung yang menyaksikan secara langsung di sekitar Bendungan
  Kedung Dawang juga mendapatkan makan. Makanan berasal dari ayam dan lauk pauk
  yang dipakai dalam ritual Upacara Cing-cing Goling. Setelah pembacaan doa
  oleh pemangku adat untuk keselamatan seluruh penduduk dan kesejahteraan para
  petani, ratusan ayam (biasanya berbentuk ingkung), lauk pauk, dan nasi
  dibagikan kepada para pengunjung dan masyarakat sekitar yang tinggal di dekat
  Bendungan Kedung Dawang.  
D. Sedekah (sodakoh) Cing-cing goling 
Upacara Cing-cing Goling merupakan upacara selamatan
  yang berskala besar untuk ukuran sebuah perayaan adat. Setiap digelar,
  upacara ini menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Keperluan untuk upacara
  tersebut misalnya pembuatan tempat upacara, pembelian ratusan ayam (kadang
  mencapai 800 ekor) untuk keperluan upacara, pembelian berbagai sesaji,
  pementasan berbagai kesenian adat berupa cerita rakyat dalam bentuk fragmen
  yang berkisah tentang cerita pelarian orang-orang dari Kerajaan Majapahit
  (pada salah satu adegan terlihat puluhan orang berlarian menginjak-injak
  tanaman pertanian yang terdapat di sekitar bendungan. Berdasarkan kepercayaan
  masyarakat, tanaman yang diinjak-injak saat berlangsung Upacara Cing-cing
  Goling itu akan bertambah subur), dan pementasan Tari Cing-cing Goling. 
Ada hal yang menarik dari ritual persembahan ayam,
  yaitu kemasan berbentuk "tas" yang terbuat dari janur atau daun
  kelapa untuk wadah ayam tersebut. Kemasan dari janur ini kini sudah sangat
  langka ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Gunungkidul.
  Meskipun memerlukan biaya yang tak sedikit, tetapi Upacara Cing-cing Goling
  tetap dihelat setiap tahunnya. Masyarakat Gedangan menganggap upacara yang
  telah bertahan selama berabad-abad ini sebagai bagian dari adat dan harus
  dilestarikan 
Telah diterangkan ketika Yudopati membuat
  irigasi, parit atau selokan untuk mengaliri sawah-sawah warga Gedangan dengan
  cis pusakanya, ada dua peristia, yaitu ibu hamil yang meninggal  saat melahirkan dan pembuat tempe kedelai
  yang sedang menstruasi. Inipun menjadi pantangan yaitu bagi ibu hamil agar tidak menyaksikan upacara
  Cing-Cing Goling , sedangkan hidangan yang dibuat penduduk Gedangan saat
  Upacara cing-Cing Goling tak menggunakn tempe dari kedelai dan juga tidak
  boleh di icipi lebih lebih dimakam sebelum upacara selesai. Karena banyak
  cerita bahwa seorang warga tidak mempercayai hal itu dan makan hidangan itu sebelum disyahkan dalam do’a , orang tersebut mendapat musibah yaitu
  meninggal dunia. 
 Kenapa hal itu terjadi? Karena kebersamaan
  dan patuh terhadap aturan dijunjung tinggioleh Kyai tropoyo (sesepuh
  Gedangan). Dengan sesanti seboyo mukti
  seboyo mati itulah falsafah orang yang mendahulukan kepentingan bersama
  diatas kepentingan pribadi.
  Yang artinya apabila mukti atau hidup enak semua harus merasakan dan kalau
  hidupnya pahit juga harus ditanggung bersama. Jadi keberhasilan atas
  bendungan kedung dawang semua harus bisa merasakan hasilnya walaupun hanya
  melalui sedakohan setiap setahun sekali. Begitulah upacara tradisi ini yang
  dilaksanakan oleh warga Gedangan sejak abad ke-15 turun temurun sampai saat
  ini. 
 | 
 
No comments:
Post a Comment